Breaking

Friday, April 25, 2014

Makalah Kajian Terhadap Konflik Agraria Kawasan Hutan Lindung Oekabiti dan Lahan Masyarakat - Part 2

PEMBAHASAN
Sejarah Konflik Agraria di Kawasan Hutan Lindung Oekabiti, Kabupaten Kupang, Kepulauwan Nusa Tenggara
Pada bulan Juni 2000, Saul Boi Mau (Nunnapah) telah mengerjakan dan mengelola lading yaitu menanam jagung, ubi kayu, pisang dan lain-lain di kawasan hutan lindung Oekabiti. Bidang tanah milik Saul Boi Mau tersebut (object sengketa) diperoleh dengan cara mendapatkan pembagian harta warisan dari Timotius Boimou (ayah Saul Boi Mau-almarhum) seluas lebih kurang 1250 meter persegi dengan batas-batas sebagai berikut :
  Utara berbatasan dengan tanah Edison Nubatonis 
  Selatan berbatasan dengan tanah Ruben Loasana 
  Timur berbatasan dengan kali Nonokmeo 
  Barat berbatasan dengan jalan raya Jurusan Kupang-Oekabiti

Bidang tanah pembagian warisan milik Saul Boi Mau tersebut sebelumnya dikerjakan secara turun-temurun juga termasuk bidang tanah lain di Kiutuntuka, Nunnapah, dan Neksufmoro yang letaknya tak jauh dari kawasan sengketa. Tanah tersebut semula milik kakek Saul Boi Mau- Tef Abi- Almarhum, kemudian dirurunkan kepada Timotius Boimou (ayah Saul Boi Mau-almarhum) dilanjutkan kepada Saul Boi Mau dan membayar pajak sejak tahun 1970 sampai sekarang (pada saat sengketa terjadi). 
Pada tahun 2000, saat Saul N. Passu menjabat sebagai Kepala Kelurahan Nonbes mengumumkan kepada masyarakat untuk mendaftarkan tanah-tanah hak milik guna diukur dan diterbitkan sertifikat penegasan hak oleh Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Kupang melalui Prona tahun 2000/2001 yang masuk wilayah kecamatan Amarasi. 
Dengan dasar pengumuman tersebut Saul Boi Mau mendaftarkan dan mengajukan permohonan pengukuran 3 (tiga) bidang tanah bagian warisan Saul Boi Mau termasuk tanah objek sengketa (batas-batas tertulis di atas). Kemudian Saul N. Passu dalam kedudukannya sebagai kepala kelurahan membatalkan pengukuran bidang tanah objek sengketa dengan alasan masuk dalam kawasan hutan lindung Oekabiti yang didasarkan atas peta wilayah, berita acara tata batas dari kelompok hutan Sisimeni Sanam dan SK Menteri Pertanian No. 183/Kpts/Um/3/1980 yang di tetapkan 17 Maret 1980. 
Karena Saul Boi Mau tetap pada pendiriannya mempertahankan tanah objek sengketa dan tetap mengerjakan tanah tersebut maka pada tanggal 17 September 2001 Saul Boi Mau di laporkan ke Kepolisian Sektor Amarasi di Oekabiti dengan Laporan Polisi No. LP/105/IX/2001/Polsek Amarasi dengan tuduhan penyerobotan kawasan hutan lindung milik Negara dalam hal ini Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Kupang. Pokok permasalahan dalam kasus ini adalah pendaftaran tanah dan pembuktian kepemilikan tanah. 

Dampak Konflik Agraria 
    Konflik agraria di kawasan hutan lindung Oekabiti telah berlangsung selama lebih dari 8 tahun. Hal ini diakibatkan karena tidak adanya kepastian dalam hak penguasaan tanah di kawasn hutan lindung Oekabiti. Adanya perbedaan paham mengenai batas kekuasaan tanah oleh masyarakat dan pemerintah, menyebabkan banyak kasus dimana masyarakat di intimidasi untuk segera menyerahkan lahan mereka kepada pihak pemerintah. 
Beberapa dampak bagi pemerintah, masyarakat dan kawasan hutan lindung yang akan terjadi ke depannya bila permasalahan konflik ini tidak segera terselesaikan dan dibiarkan menggantung antara lain :
1. Balai Pengawasan Kawasan Hutan Lindung Oekabiti
Merenggangnya hubungan antara petugas dan warga terutama bagi warga yang berselisih (Saul Boi Mau) yang menyebabkan ptugas kesulitan melaksanakan tugasnya, karena mereka khawatir dalam melakukan setiap tindakan yang dapat menyebabkan konflik semakin meruncing. Apabila balai pengawasan hutan lindung mengambil tindakan keras maka dikhawatirkan akan menimbulkan kerugian baik material maupun non-material yang akan dialami oleh warga. 
2. Daerah Kawasan Hutan Lindung Oekabiti
Akibat tidak adanya kepastian, warga yang berselisih (Saul Boi Mau) secara diam-diam melakukan pekerjaannya berladang yang membuat kawasan hutan lindung Oekabiti semakin terbebani sehingga berpotensi merusak spesies binatang maupun tumbuhan yang berada dikawasan hutan lindung Oekabiti.
Pasal 37 UU No. 05 tahun 1990 tentang konservasi daya alam hayati dan ekosistemnya memperlihatkan adanya peluang untuk memposisikan rakyat sebagai sesuatu yang terpisah dari alam. Berdasarkan pasal ini pemerintah diminta untuk “menggerakkan dan mengarahkan” masyarakat untuk sadar konservasi. 

Analisis Masalah 
Pendaftaran Tanah 
Salah satu tujuan Undang-undang pokok agraria No. 5 tahun 1960 Adalah memberikan jaminan hukum atas hak tanah. Hal ini dapat dilihat dari ketentuan pasal 19 UUPA ayat 1 yang menyebutkan : “ Untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah republik Indonesia menurut peraturan yang diatur dalam peraturan pemerintah”.
Berdasarkan peraturan pemerintah No. 24 tahun 1997 pasal 1 ayat 1 yang dimaksud dengan pendaftaran tanah adalah : “ Rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan rumah susun, termasuk pemberian surat pembuktian haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya”. 
Pendaftaran dan pengukuran yang diajukan oleh Saul Boi Mou terhadap tanah objek sengketa tidak dapat dilakukan karena tanah tersebut dalam sengketa dan berdasarkan peta wilayah, tanah tersebut merupakan kawasan hutan lindung milik Negara. Sehingga tanah tersebut  dapat dilakukan pendaftaran dan pengukuran setelah ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap mengenai perselisihan batas maupun perselisihan tentang siapa sesungguhnya berhak atas bidang tanah tersebut. 

Pembuktian Kepemilikan Tanah
Yang dimaksud dengan membuktikan ialah menyakinkan hakim tentang kebenaran dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan. Perselisihan mengenai hak milik seperti kasus yang dialami Saul Boi Mou merupakan ranah kasus perdata. Sejak dahulu Saul Boi Mou sebagai salah satu masyarakat desa yang tidak berpendidikan selalu mentaati peraturan yang dikelurkan oleh pemerintah (kantor pajak), yaitu setiap tahunnya memenuhi kewajiban dalam hal membayar pajak kepada Negara. Namun surat bukti pembayaran pajak tersebut bukan merupakan bukti pemilikan hak atas tanah sedangkan yang menjadi permasalahan adalah bukti tentang kepemilikan hak atas tanah sengketa.
Berdasarkan pasal ayat 32 ayat 1 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 menyebutkan : “ Sertifikat merupakan suatu tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat mengenai data fisik maupun yuridis yang ada di dalamnya…………….”. Maka jelas bahwa alat bukti yang dapat dipergunakan untuk membuktikan kepemilikan tanah tersbut adalah sertifikat dan bukan surat bukti pembayaran pajak. 
Namun dilihat dari alat bukti yang ditentukan Undang-undang yang dirinci dalam pasal 164 HIR (Pasal 284 RBG), alat bukti yang sah terdiri atas :
tulisan (akta)
keterangan saksi
persangkaan 
pengakuan 
sumpah

Berdasarkan hal tersebut surat bukti pembayaran pajak dapat dipertimbangkan sebagai bukti persangkaan yang memiliki nilai pembuktian sempurna. Karena dengan bukti tersebut menunjukkan bahwa Sau Boi Mau menguasai dan mengerjakan tanah sengketa dari dahulu secara terus menerus dan tidak mendapat pengklaiman kepemilikan oleh siapa pun termasuk Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Kupang.

Solusi Mengatasi Konflik Agraria Kawasan Hutan Lindung Oekabiti 
Pembangunan pada dasarnya melakukan perubahan (plan change) yaitu perubahan menuju perbaikan kondisi yang telah disepakati bersama. Dalam pembangunan kehutanan, seluruh bentuk peraturan adalah merupakan perwujudan hukum yang dihasilkan dari suatu proses kesepakatan. Dalam mengatasi konflik hutan lindung Oekabiti, perlu adanya kesepakatan bersama antara pemerintah dan pemilik lahan untuk bersama-sama merumuskan jawaban dari semua permasalahan yang ada. Beberapa hal yang penting dalam pelaksanaan kesepakatan diantara kedua belah pihak, hendaknya mempertimbangkan hal berikut :
1. Sebelum adanya kesepakatan antara pihak yang bersengketa. Terlebih dahulu kedua pihak disadarkan bahwa diperlukan itikad baik dalam penyelesaian masalah ini. perlu ditekankan bahwa dalam pembentukan kesepakatan inidibuat secara bersama dan dalam posisi kedua pihak yang sejajar, tanpa adanya pihak yang mendominasi atau terdominasi. Sehingga kesepakatan yang dibuat akan dapat dilaksanakan, karena kedua belah pihak diuntungkan dan sesuai aspirasi masing-masing.
2. Dalam proses menuju kesepakatan dan pelaksanaan kesepakatan diperlukan pengawasan dari pihak yang ketiga (LSM) yang dipercayai oleh kedua belah pihak untuk memfasilitasi dan menjadi penengah dalam kesepakatan tersebut.
3. Setelah kedua belah menjabarkan keinginannya masing-masing, diharapkan kedua belah pihak mampu menghasilkan kontrak social yang nantinya akan dilaksanakan dan ditaati. 
4. Hendaknya pemerintah membentuk unit kerja khusus yang mampu mengatasi masalah social yang timbul akibat adanya permasalahan sejenis.    

KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan  
Dalam mengelola kawasan hutan Negara atau hutan lindung seharusnya melibatkan tokoh-tokoh adat, masyarakat, dan pemerintah setempat sehingga sistem pengelolaan hutan yang menerapkan konsep hutan kemasyarakatan (HKM) dengan sistem pengelolaan berkelompok dimana semua pengelolaan hutan termasuk pengawasannya dikembalikan kepada masyarakat dapat berjalan dan hasil hutannya mampu memberikan kesejahteraan bagi masyarakat. Tidak akan ada lagi perambahan hutan yang dilakukan oleh masyarakat.
Saran
Perlunya perbaikan sistem penetapan kawasan hutan negara atau hutan lindung agar tidak merugikan masyarakat terutama pemilik lahan yang berada disekitar kawasan hutan lindung. Pemerintah mencari dan meneliti secara benar tentang sejarah kepemilikan tanah yang akan dipergunakan sebagai kawasan hutan. Bagi si pemilik tanah yang akan dijadikan kawasan hutan harus ada kejelasan mengenai kompensasi yang akan diterima dan pemerintah diharapkan tidak menggunakan cara-cara lama seperti menekan, menakut-nakuti pemilik lahan dan sebagainya.        
   


DAFTAR PUSTAKA

Adiwibowo, Soeryo. dkk. 2007. Analisis Pemukiman Dalam Kawasan Taman Nasional Di Indonesia: Studi Kasus Taman Nasional Ujung Kulon, Kerinci Seblat, dan Lore Lindu. Sains: Bogor.

Iswanto, Abdur Rachman. 2010. Konflik Lahan Hutan Dan Masyarakat.[terhubung berkala]. www.pemantauperadilan.com [26 Februari 2011].

Karthodihardjo, Hariadi. 2007. Di Balik Kerusakan Hutan dan Bencana Alam: Masalah Transformasi Kebijakan Kehutanan. Kehati: Jakarta.

Simarmata, Vidya Hartini. dkk. 2008. Kajian Terhadap Konflik Agraria di Desa Ujung Jaya Taman Nasional Ujung Kulon. [karya ilmiah]. Bogor: Departemen Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Institut Pertanian Bogor. 

Suryana, Eska Nata. 2007. Keragaman Sosial Ekonomi Usaha-Usaha Alternatif Masyarakat Dalam Program Pembinaan Daerah Penyangga Taman Nasional Ujung Kulon. IPB 

No comments:

Post a Comment