Breaking

Monday, December 26, 2011

Adat Meminang Masyarakat Gayo

munginte yaitu orang tua melalui utusan atau wakilnya meminang calon istri anaknya yang telah dimusyawarahkan dan diteliti apakah peremuan yang akan dipinang itu belum dipinang oleh orang lain secara sah, setelah itu ditetapkan waktu meminang dan diberitahukan kepada keluarga inti yang akan dipinang untuk mendapat persetujuan meminang.
Tiap tiap munginte ( meminang) harus dengan perantaraan telangke ( wakil yang dipercaya), tidak boleh orang tua kedua belah pihak berhadapan langsung untuk meminang atau menerima pinangan. Ketentuan tersebut sesuai dengan kata kata adat” kekelang rukut, betelangke sange” daun rukut rasanya pahit, sange terasa panas (seget) karena sinar matahari. Sementara “kekelang” atau “ telangke” adalah wakil atau utusan yang jujur dan dapat dipercaya. Maksud atau pengertian kata kata adat diatas ialah bahwa apa yang terasa pahit atau panas, tidak boleh disampaikan oleh perantara itu kepada pihak lain untuk selama lamanya, supaya pelaksanaan akad nikah dan rumah tangga mereka berjalan dengan baik dan harmonis
Telangke (perantara) bertugas mulai dari menginte sampai dengan bayi kunul I atan ampang (mempelai laki laki duduk diatas tikar adat) ketika hendak menerima akad. Dahulu kepada mereka ditentukan penayah (hononarium) masing masing dari pihak pengantin perempuan satu ringgit dan dari pihak laki laki satu rupiah sama dengan satu kaleng atau sepuluh bambu beras nomor satu. Sekarang jumlah penayah itu tidak ditentukan besarnya dan bentuknya.
Pada hari dan waktu yang ditentukan oleh orang tua pihak perempuan, keluarga inti wewakili orang tua pergi meminang kerumah tempat tinggal orang tua perempuan yang dipinang, dengan membawa beras terbaik sebanyak satu bambu, sejumlah uang dan perlengkapan sirih dalam batil bersab (cerana yang dibungkus dengan kain kerawang atau kain putih) untuk disajikan kepada keluarga inti sebelum mengucapkan malengkan (kata-kata adat meminang) ketika rombongan yang mminang memasuki rumah keluarga yang dipinang, mereka mengucapkan salam dan menanyakan kabar baik keluarga yang dipinang. Keluarga yang dipinang menyajikan minuman ringan yang paling terhormat adalah kopi dan teh. Setelah hampir selesai minum pihak yang meminang menyajikan sirih dan meyampaikan melengkan muninginte kepada keluarga yang dipinang selesai mengucapkan melengkan, juru bicara pihak laki laki ( yang meminang) menyerahkan beras dan uang dalam sumpit bersulam kepada juru bicara keluarga perempuan ( yang dipinang) kemudian melengkan meminang disambut oleh juru bicara perempuan.
Adapula melengkan meminang disambut dengan kata kata dengan inti pembicaraaan: terimakasih atas kedatangan saudara, kamipun ingin menambah keluarga. Pinangan saudara akan kami pikirkan selam dua hari atau tiga hari ini. Setelah itu saudara kami harap datang kembali ketempat ini, tenggang waktu berfikir itu disebut” berhamal tidur, nipi jega” ( memohon petunjuk Allah melalui mimpi yang benar seraya berfikir dan musyawarah keluarga tentang orang yang meminang) sistem tersebut dimaksud untuk mempererat silaturahmi antara kedua belak pihak. Kemudian mereka berpisah menunggu waktu menentukan jawaban. Beras satu bambu dan sejumlah uang serta tiga pedi masing masing yang terdiri dari tiga susun daun sirih yang ditinggalkan pada kedua orang tua perempuan yang dipinang yang kemudian dua pedi daun sirih diberikannya kepada abang atau adik kandungnya sebagai tanda anaknya sudah dipinang orang dan untuk dijadikan” perhamalan” (pemikiran selama tiga hari) apakah pinangan itu diterima atau ditolak.
Tiga pedi daun sirih yang disusun rapi yng dibawa oleh utusan keluarga pihak laki laki yang meminang dibagi tiga, satu pedi untuk orang tua anak peremuan yang dipinang, satu untuk abang atau adik dari ayah kandungnya dan satu lagi untuk bibinya ( kakak atau adik perempuan ayahnya) sebagai tanda untuk bersama sama memikirkan baik dan buruknya pinangan tersebut.
Demikian pula “hamal tidur, nipi jega” (memikirkan atau mempertimbangkan secara matang apakah pingan diterima atau ditolak) adalah untuk kepentingan hari depan kebahagiaan anak yang akan dinikahkan itu. Karena hubungan pernikahan berlangsung seumur hidup, dan harus diikirkan dengan matang terlebih dahulu, tidak boleh tergesa gesa.
Sementara itu pihak perempuan menyelenggarakan “pakat sara ine” (musyawarah keluarga) untuk menentukan apakah pingan tersebut diterima atau ditolak. Sekiranya pinganan itu diterima dimusywarahkan pula jenis dan jumlah teniron ( uang dan barang permintaan keluarga perempuan), sementara jenis dan besarnya mahar ditentukan sendiri oleh calon pengantin perempuan.
Pada waktu yang dijanjikan, utusan peminang mendatangi kedua kalinya orang tua atau wali yang dipinang untuk mendengar apakah pinangan diterima atau ditolak. Kata kata penerimaan disampaikan dalam keadaan baik dan sopan jika pingangan diterima ataupun ditolak melalui kata kata kiasan, sehingga pihak yang ditolak tidak merasa terlalu kecewa jika pinangan ditolak dan tidak terlalu merasa gembira jika pinanganya diterima.

No comments:

Post a Comment