Pada tahun 1975/1976, Dr. M. Junus melalatoa,telah melakukan penelitian budaya Gayo di Aceh Tengah. Beliau menyimpulkan antara lain bahwa sistem nilai budaya Gayo terdiri dari: Mukemel ( harga diri), tertip (tertib), setie (setia), semayang gemasih (kasih sayang), mutentu (kerja keras), amanah (amanah), genap mupakat (musyawarah), alang tulung(tolong menolong) dan bersikekemelen (kompetitif).
Sistem nilai buday gayo terbagi menjadi sebuah nilai “utama” yang di sebut “harga diri” (mukemel = M). Untuk mencapai harga diri itu, seseorang harus mengamalkan atau mengacu pada sejumlah nilai lain, yang di sebut nilai “penunjang”. Nilai-nilai penunjang itu ialah: “tertip” (Tp), “setie” (St), “semayamg gemasih” (Sg), “mutentu” (Mt), “amanah” (An), “genap mupakat” (Gm) “alang tulung” (At). Untuk mewujudkan nilai ini dalam mencapai “harga diri”, mereka harus berkompeisi kompetisi itu sendiri merupakan sebuah nilai, yaitu “nilai” kompetitif” atau bersikekemelen (Bs) yang merupakan nilai penggerak.
Sebenarnya ada satu nilai lagi yang paling mendasar yaitu nilai x (keimanan atau keyakinan) terhadap kebenaran yang bersumber dari Allah dan Rasul-Nya. Nilaikeimanan itu merupakan etos kerja atau ruh amal yang mendorong sekaligus mengendalikan dan mengarahkan kekeuatan manusia untuk beramal yang menghasilkan sifat amal shaleh (iman+amal=amal shaleh). Di atas telah di sebutkan bahwa Allah s.w.t memadukan antara kata iman dan amal shaleh dalam firman-Nya (Al-qur’an nul Karim) tidak kurang dari 59 kata. Hal itu menunjukkan bahwa iman merupakan nilai yang paling pokok di dalam melaksanakan amal sesuai norma syari’at.
Setelah kita mengkaji sepintas mengenai nilai iman, sekarang kita meninjau nilai yang di rumuskan oleh Dr.M.Yunus Melalatoa di lihat melalui kacamata Islam.
1. Mukemel (harga diri)
Menurut ajaran Islam, manusia selalu berhubungan dengan Allah, manusia dan alam. Mukemel dala ketiga hubungan itu merupakan satu kesatuan yang tidak boleh dipisahkan dengan pokus mukemel terhadap Allah.
Dalam hadits yang di riwwyatkan oleh Bukhari dari Abu Hurairah r.a. rasullullah s.a.w. bersabda yang arinya:
“iman itu (mempunyai) enam puluh cabang, dan malu (merupakan) slah satu cabang iman”.
Bukhari juag meriwayatkan dari Salim bin Abdullah yang di terima dari bapaknya, bahwa Rasullullah s.a.w. lewat di hadapan seorang dari aki-laki shabat Nabi dari Anshar yang sedang menasehati saudaranya mengenai malu(mukemel). Beliau bersabda yang artinya:
“biarkan sjalah (ia menasehatinya), karena sifat malu termasuk bagian iman”
Seseorang tidak mukemel terhadap Allah dan manusia, akan mudah melakukan perbuatan ma’siat, pemalas dan sulit untuk maju. Karena ketika dia tidak mukemel, maka harga dirinya semakin merosot dan di pandang rendah serta tidak berwibawa di hadapan orang lain termasuk di hadapan isteri dan anak-anaknya. Kecuali dia bertekat bulat untuk menumbuhkan nilai mukemel yang lebih tinggi dengan cara melakukan usaha maksimal untuk meninggalkan apa yang tidak sesuai dengan syari’at dan nilai mukemel itu.
Didalam ajaran islam usaha seperti itu disebut “taubat nasuha” (betul-betul menyesali perbuatan jahat yang dilakukannya dan bertekad untuk tidak melakukan perbuatan jahat itu lagi).
2. Tertip (tertib)
Kata ini berasal dari bahasa arab” tartib” yang artinya teratur atau berurutan. Dalam Ilmu Fiqh Islami, tertib sering di jadikan syarat atau rukun dalam proses melksanakan ibadah seperti tartib brwudhu’, mengerjakan shalat’ melaksanakan ibadah haji dan lain-lain. Tidak melaksanakan “tartib” berarti ibadah yang di laksanakan itu menjadi batal, sekurang-kurangnya tidak sempurna.
Tertib sebagai slah satu sistem nilai budaya gayo, selain di pegang teguh dalam mengerjakan ibadah, juga dalam proses kehidupan sehari-hari. Seperti terttib bergaul, berkeluarga, bekerja, berpakaian, makan, minum, berhadapan dengan oang tua dan guru dan lain sebagainya. Orang yang tidak memperhatikan nilai “ tertib” di anggap sebagai orang yang kurang berakal. Sedang sumber daya akal merupakan salah satu nikmatAllah yang wajib di pelihara, di kembangkan dan di manfaatkan unuk memikirkan ayatullah (tanda-tanda kekuasaan Allah) baik firman-Nya maupun ciptaan-Nya).
Dalam pribahasa gayo nilai ini di ungkapakan dalam kalimat “ tertib mermenjelis, umet bermulie”(teratur dalam kebersamaan,akan memuliakan umat). Maksudnya, ucapan, perbuatan atau tingkah laku yang tidak bernilai tertib, di sebut munafik. Kemunafikan amat di benci oleh Allah karena merupakan penyebab kehidupan soerang atau masyarakat menjadi kacau balau,karena itu orang yang tidak mempunyai nilai tertib di akherat akan dimasukkan kedaam neraka yang nista.
3. Setie (setia)
Dalam pribahasa gayo di sebutkan “setie murip gemasih papa” . Artinya: kesetiaan hidup karena kasih sayang, walaupun karena itu hidup merana. Kesetiaan yang di dorong oleh rasa kasih sayang, menyebabkan orang suka berkorban fikiran, tenaga dan harta bahkan jiwa sekalipun, walaupun berakhir dengan kepapaan atau kemiskinan. Perasaan sosial yang menghayati dan melaksanakan nilai ini amat tinggi, karena mereka menyadari bahwa manusia adalah mahluk sosial, tidak mungkin hidup sendiri unuk meraih kesejahteraan dan kebahagiaan.
Kesetiaan dalam keluarga dan pergaulan sehari-hari di gambarkan dalam pribahasa: “Ike jema musara i ate, ungkepe serasa gule. Ike gere musara ate, bawal pe lagu bangke”. Kalau kontak bathin atau kesetiaan telah terjalin, ungke(sejenis buah yang agak pahit) terasa enak bagai ikan. Kalau kontak bathin atau kesetiaan tidak ada, ikan bawal terasa bangkai.
Bil nilai setie di kaitkan dengan ajaran islam, maka kesetiaan seseorang baru terjadi, apabila samasama beriman dan beribadah kepada Allah. Kebersamaan itu secara konkrit dilaksankan melalui shalat berjama’ah merasakan penderitaan orang lain melalui pusa dan membayar zakat, infak dan shadaqah untuk mengentaskan kemeskinan dan memajukan umat, memelihara anak yatim dan tidak mengungkapkan kejelekan orang lebih-lebih orang yang telah berpulang ke rahmatullah.
Adapun nilai setie ini wajib kita hayati dan kita laksanakan, bukan saja dalam melaksanakan pekerjaan tertentu menurut adat, tetapi juga dalam melaksanakan pekerjaan besar dan mengandung banyak hikmah, seperti memimpian dan membangun bangsa, agar kesetian itu berlangsung dari dunia sampai di akhirat. Nilai setie yang dilaksanakan berdasar prinsip Ukhuwah Islamiyah akan memperkecil kesenjangan sosial, egoisme pribadi dan egoisme sektoral.
4. Semayang-gemasih (kasih sayang)
Nilai ini di ungkapkan antara lain dalam pribahasa “kasih enti lanih, sayang enti lelang” artinya: pelaksanaan kasih sayang tepat waktu dan memadai.
Membuktikan kasih sayang kepada orang lain pada waktunya, adalah kasih sayang sejati dan am berguna bagi orang yang dikasihi, walaupun tanda kasih sayng itu tidak begitu banyak. Namun pembuktian kasih sayang yang dilakukan pada waktunya dan dalam jumlah serta mutu yang memadai adalah kasih sayang yang paling sempurna.
Banyak orang mengungkapkan kata-kata kasih sayang, tetapi banyak pula orang yang tidak mau atau tidak mampu membuktikannya. Orang yang merasa kasihan terhadap orang yang di timpa musibah dan berusaha membantunya tepat waktu dan tepat cara, akan amat berkesan bagi orang yang di bantu dan mereka mengingatkan dengan cara mempererat tali persaudaraan dan menumbuhkan niali kesetiaan.
Dahulu di gayo sering terjadi, bahwa kejuruan atau pengulu, mengakui orang lain menjadi keluarga kampung atau belah yang dipimpinnya, dimana mereka mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan warga kampung atau belah itu. Keluarga yang memiliki tanah yang relatif luas dan kerbau yang agak banyak, membagi tanah atau kerbau itu kepada saudaranya atau kepada orang lain yang hidup memprihatinkan, agar hidup mereka sama-sam berbahagia. Pemimpn keluarga dan pemimpin pemerintahan dan pemimpin masyarakat merasa malu(kemel) kalu anggota keluarga, warga kampung atau belahnya hidup sengsara dan peminta-minta. Begitulah pelaksanaan nilai budaya yang menyebabkan kesenjangan sosial di gayo tidak begitu lebar dan tidak ada peminta-minta.
Nilai ini akan bermanfaat apabila orang menghayati firman Allah (Surah Al-Fatehah:3)
الر Øمن الر Øيم
Artinya:
“Allah Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang”
5. Mutentu (kerja keras)
Mutentu adalah rajin atau bekerja keras dan rapi melaksanakan sesuatu. Orang yang tidak rajin dan tidak rapi bekerja dalam budaya Gayo di sebut “mertet”. Mertet berasal dari bahasa Arab “murtad” yaitu orang yang kembali kepada kapir setelah beriman. Merete menurut orang gayo adalah malas. Malas segera bangun tidur, malas belajar, malas bekerja, malas mengerjakan shalat, malas mandi, atau membersihkan diri dan lingkungan serta tidak mau membantu pekerjaan orang lain.
Orang yang melaksanakn nilai “mutentu” baik laki-laki atau perempuan, terutama gadis (beberu) yang mutentu akan cepat di pinang orang dan pinangan keluarga laki-laki yang mutentu akan segera di terima keluarga beberu. Sebaliknya remaja (bebujang atau beberu) yang tidak mutentu kurang di kasihi masyarakatdan jarang orang meminangnya dan di pinang orang kecuali sama-sama martet atau sama-sama tidak mutentu karena terpaksa. Tidak jarang jejaka atau gadis yang tidak mutentu menjadi bujang atau beru tuwe (berusia agak lanjut di atas 25 tahun) belum berkeluarga, karena tidak memeiliki nilai “mutentu”
Jejaka dan gadis yang tidak memperhatikan nilai mutentu, tersisih dalam pergaulan sesama mereka. Jejaka tiap kampung atau belah biasanya tidur di menasah atau serami ( rumahkhusus untuk jejaka bermalam). Jejeka yang tidak mutentu, di jadikan sebagai penjaga atau penunggu serami atau pesuruh untuk mengumpulkan kayu api dan pekerjaan lainnya serupa itu. Akibat yang bersangkutan tidak memperhatikan nilai mutentu, menyebabkan nilai-nilai lainnya sulit untuk dia hayati.
6. Genap Mupakat (Musyawarah)
Selain “genap mupakat” atau “musyawarah” nilai ini di sebut pula dengan “keramat mupakat”. Mupakat dan musyawarah berasal dari bahsa Al-qur’an “muwafaqah” artinya bersepakat dan “musyawarah” artinya bertukar pikiran. Kedua kata itu sudah menjadi bahasa indonesia. Semua masalah atau urusan yang akan di selesaikan atau akan di laksanakan ,terlebih dahulu di musyawarahkan di antara pihak-pihak bersangkutan bagaimana cara melaksanakan atau menyelesaikan. Semua peserta musyawarah atau oang yang atas namanya bermusyawarah, wajib melaksanakan hasil musyawarah itu bersama-sama secar bertanggung jawab terhadap Allah dan kepada manusia yang di wakilinya. Karena bagaimanapun kokohnya dasar dan baiknya tujuan melakukan sesuatu, kalu cara atau sistem atau kaifiyatnya tidak tepat dan di laksanakan secara tidak bertanggung jawab maka pekerjaan itu tidak atau kurang berhasil. Nilai ini dipandang penting untuk di laksanakan oleh setiap orang dalam semua aspek kehidupan dalam semua ini mulai dari keluarga, tetangga, kampung sampai dengan lingkungan yang paling luas.
Apa yang telah di musyawarahkan dan telah di putuskan dalam musyawarah, harus di pegang teguh dan di laksanakan oleh peserta musyawarah dan warga lingkungannya secara bertanggung jawab. Dalam kaitan ini pribahasa gayo menegaskan “ mujantan tegep ku bumi, mu pucuk bulet ku langit”. Artinya: berakar kokoh di bumi pucuknya tinggi menjulang ke langit. Siap yang meregangkan akar dan memotong pucuk kau itu sam dengan menentang dan menghianati diri sendiri. Artinya orang yang menentang atau tidak mau melaksanakan keputusan musyawarah adalah penghianat.
7. Alang Tulung (Tolong-Menolong)
Alang tulung sama dengan “berat bantu”. Artinya tong menolong, meringankan beban orang lain. Karena sekecil apapun sesuatu masalah yang di hadapi seseorang. Pasti ia tidak dapat melakukannya dengan sendiri. Kotoran sekecil apapun yang masuk kedalam mata seseorang tidak mampu mengeluarkannya sendiri tanpa bantuan orang lain. Apalagi untuk melaksanakan dan menyelesaikan urusan besar atau pekerjaan berat.
Nilai ini tumbuh dan amat di perlukan karena di dasarkan atas kesadaran bahwa manusia adalah mahluk sosial, mahluk yang saling memerlukan bantuan dan isi mengisi maupun tidak langsung. Tidak ada manusia yang sempurna dan tak ada pula manusia yang sama sekali tanpa manfa’at. Dalam Al-qur’an ada istilah “sukhiyan” dari kata “sakhara” artinya sebahagian bermanfaat bagi sebahagian yang lain.Karena itu Allah s.a.w. membagi s.d.m. (sumber day manusia) dengan bakat dan minat yang berbeda. Demikian pula Allah membagi s.d.a. (sumber daya alam) di berbagai tempat atu daerah,supay manusia merasa saling ketergantungan,karena perbedaan lapangan pekerjaan dan produksi yang dihasilakan.
Selain itu “sukriyyan”berlaku pula dalam bentuk pembagian lokasi sumber daya alam yang tidak sama dalam satu daerah, satu negara dan apalagi wilayah dunia. Kopi tumbuh dan berproduksi dengan baik di Aceh Tengah, tetapi kelapa kurang. Itu adalah contoh sukhriyan berupa pembagian lokasi sumber daya alam.
Pola sistem sukriyan menyebabkan manusia di dunia saling bergantung dan saling memerlukan antara satu dengan yang lain. Manusia di larang bersikap egois pribadi, egois sektoral, egois area dan egois kesukuan dan ego-ego lainnya. Inilah hakikat dari nilai “alang tulung” dalam islam dan budaya atau adat istiadat.
8. Besikekemelen (kompetitif)
Dalam ajaran islamterdapat meode untuk meraih kemajuan yaitu apa yang di sebut apa yang di sebut “musabaqah”.metode ini mendorong seseorang untuk giat berlomba melakukan kebaikan. Berlomba menuntut ilmu pengetahuan duniawi dan ukhrawi, berlomba beribadah, berlomba beramal saleh, berlomba mencari nafkah maningkatkan perekonomian dan aspek kehidupan lainnya.
Sehubungan metode ini ada cara yang lebih baik di namis dari musbaqah yaitu ”musara’ah” yaitu adu cepat untuk cepat meraih ampunan Allah dan surga
Bersikekemelen (kompetitif) musabaqah atau musara’ah tidak hanya berlangsung insidentil atu seketika, tetapi berlangsung terus menerus( dawam)dalam proses kehidupan. Nilai inilah yang menyebabkan manusia cepat memperoleh kemajuan, bukan hanya kemajuan material tetapi juga kemajuan spiritual, karena mereka bukan menunggu tetapi mencari dan mengejar kebaikan.
No comments:
Post a Comment