- Ijtihad
Pengertian Ijtihad
Dari segi bahasa, ijtihad berarti; mengerjakan sesuatu dengan segala kesungguhan. Sedang menurut pengertian syara’ ijtihad adalah:
اَ ْلإِجْتِهَادُ: اِسْتَفْرَاغُ الْوُسْعِ فِيْ نَيْلِ جُكْمٍ َِرْعِيٍّ بِطَرِيْقِ اْلإِسْتِنْبَاطِ مِنَ الْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ.
Menggunakan seluruh kesanggupan untuk menetapkan hukum syara’ dengan jalan memetik/mengeluarkan dari kitab dan sunnah.
Adapun pengertia ijtihad ialah: Mencurahkan segala tenaga (pikiran) untuk menemukan hukum agama (syara’), melalui salah satu dalil syara’ dan dengan cara tertentu. Tanpa dalil syara’ dan tanpa cara tertentu, maka hal tersebut merupakan pemikiran dengan kemauan sendiri semata-mata dan hal tersebut tidak dinamakan ijtihad.[2]
Ijtihad mempunyai peranan yang penting dalam kaitannya pengembangan hukum Islam. Sebab, dalam kenyataannya di dalam Al-Qur’an terdapat ayat-ayat Muhkamat (jelas kandungannya) dan ada yang Mutasyabihat (memerlukan penafsiran (belum terang). Dari sinilah, sehingga ajaran Islam selalu menganjurkan agar manusia menggunakan akalnya. Apalagi agama Islam sebagai Rahmatan lil Alamin (Rahmat bagi seluru alam) membuat kesediaannya dalam menerima perkembangan yang dialami umat manusia. Sehingga secara pasti cocok dan tepat untuk diterapkan dalam setiap waktu dan tempat. Maka peranan ijtihad semakin penting untuk membuktikan keluasan dan keluwesan hukum Islam.
- Perbedaan Mazdhab
Menurut bahasa mazdhab berarti “Jalan atau tempat yang dilalui.” Menurut istilah para Faqih Mazdhab mempunyai dua pengertian yaitu:
1. Pendapat salah seorang Imam Mujtahid tentang hukum suatu masalah.
2. Kaidah-kaidah istinbath yang dirumuskan oleh seorang imam.
Dari kedua pengertian diatas dapat disimpulkan, bahwa pegertian mazdhab adalah: “Hasil ijtihad seorang imam (Mujtahid Mutlaq Mustaqil) tentang hukum suatu masalah atau tentang kaidah-kaidah istinbath.”
Dengan demikian,bahwa pengertian bermazdhab adalah: “Mengikuti hasil ijtihad seorang imam tentang ukum suatu masalah atau tentang kaidah-kaidah istinbath.”[3]
Orang yang melakukan ijtihad disebut Mujtahid. Para Imam Mujtahid seperti Imam Hanafi, Maliki, Syahi’i dan Imam Ahmad bin Hambali, sudah cukup dikenal di Indonesia oleh sebagian besar umat Islam. Untuk mengetahui pola pemikiran masing-masing Imam Mazdhab bagi seseorang itu sangat terbatas, bahkan ada yang cenderung hanya ingin mendalami mazdhab tertentu saja. Hal ini disebabkan, karena pengaruh lingkungan atau karena ilmu yang diterima hanya dari ulama/guru yang menganut suatu mazdhab saja.
Menganut suatu aliran mazdhab saja, sebenarnya tidak ada larangan, tetapi jangan hendaknya menutup pintu rapat-rapat, sehingga tidak dapat melihat pemikiran-pemikiran yang ada pada mazdhab yang lain yang juga bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW. Hal ini dimaksudkan, agar seseorang tidak fanatik kepada suatu mazdhab.
Andaikata sukar menghindari kefanatikan kepada suatu mazdhab, sekurang-kurangnya mampu menghargai pendapat orang lain yang berbeda dengan pendapatnya.
Dibawah ini akan dikemukakan beberapa tokoh Imam Mazdhab.
A. IMAM HANAFI
Dasar-dasar mazdhab Imam Hanafi dalam menetapkan suatu hukum.
1. Al Kitab
Al Kitab adalah sumber pokok ajaran Islam. Segala permasalahan hukum agama merujuk kepada al-Kitab tersebut atau kepada jiwa kandungannya.
2. As-Sunnah
As-Sunnah adalah berfungsi sebagai penjelasan al-Kitab, merinci yang masih bersifat umum (global).
3. Aqwalush Shahabah (perkataan sahabat)
Perkataan sahabat memperoleh posisi yang kuat dalam pandangan Abu Hanifah. Karena menurutnya, mereka adalah orang-orang yang membawa ajaran Rasul sesudah generasinya.
4. Al-Qiyas
Abu Hanifah berpegang kepada Qiyas. Apabila ternyata dalam Al-Qur’an, Sunnah atau perkataan sahabat tidak beliau temukan.
5. Al-Istihsan
6. Urf
Pendirian beliau adalah mengambil yang sudah diyakini dan dipercayai dan lari dari keburukan serta mempertahankan muamalah-muamalah manusia dan apa yang mendatangkan maslahat bagi mereka. Beliau melakukan segala urusan (bila tidak ditemukan dalam Al-Qur’an, Sunnah, Ijmak atau Qiyas, dan apabila tidak baik dilakukan dengan cara Qiyas) beliau melakukannya atas dasar istihsan selama dapat dilakukannya. Apabila tidak dapat dilakukan istihsan, beliau kembali kepada Urf manusia.
B. IMAM MALIKI BIN ANAS
Dasar-dasar mazdhab Imam Maliki.
1. Al-Qur’an
2. Sunnah Rasul yang beliau pandang sah.
3. Ijmak para ulama Madinah, tetapi kadang-kadang beliau menolak hadist apabila ternyata berlawanan/tidak diamalkan oleh para ulama Madinah.
4. Qiyas
5. Istishlah (Mashalihul Mursalah)
C. IMAM SYAFI’I
Dasar-dasar hukum yang dipakai Imam Syafi’i.
Mengenai dasar-dasar hukum yang dipakai oleh Imam Syafi’i sebagai acuan pendapatnya termaktub dalam kitabnya ar-Risalah sebagai berikut:
1. Al-Qur’an
2. As-Sunnah
Beliau mengambil sunnah tidaklah mewajibkan yang mutawatir saja, tetapi yang ahad pun diambil dan dipergunakan pula untuk menjadi dalil, asal telah mencukupi syarat-syaratnya, yakni selama perawi hadist itu orang kepercayaan, kuat ingatan dan bersambung langsung sampai kepada Nabi SAW.
3. Ijmak
Dalam arti bahwa para sahabat semuanya telah menyepakatinya
4. Qiyas
Imam Syafi’i memakai Qiyas apabila dalam ketiga dasar hukum diatas tidak tercantum, juga dalam keadaan memaksa.
5. Istidlal (Istishhab)
D. IMAM AHMAD BIN HAMBALI
Imam Hambali dalam menetapkan suatu hukum adalah dengan berlandaskan kepada dasar-dasar sebagai berikut:
1. Nash Al-Qur’an dan Hadist, yakni apabila beliau mendapatkan nash, maka beliau tidak lagi memperhatikan dalil-dalil yang lain dan tidak memperhatikan pendapat-pendapat sahabat yang menyalahinya.
2. Fatwa Sahaby, yaitu ketika beliau tidak memperoleh nash dan beliau mendapati suatu pendapat yang tidak diketahuinya, bahwa hal itu ada yang menentangnya, maka beliau berpegang kepada pendapat ini, dengan tidak memandang bahwa pendapat itu merupakan Ijmak.
3. Pendapat sebagian sahabat yaitu apabila terdapat beberapa pendapat dalam suatu masalah, maka beliau mengambil mana yang lebih dekat kepada Al-Qur’an dan Sunnah.
4. Hadist Mursal atau Hadist Daif. Hadist Mursal atau Hadist Daif akan tetap dipakai, jika tidak berlawanan dengan sesuatu atsar atau dengan pendapat seorang sahabat.
5. Qiyas, baru beliau pakai apabila beliau memang tidak memperoleh ketentuan hukumnya pada sumber-sumber yang disebutkan pada poin 1-4 diatas.
BAB III
KESIMPULAN
Al-Qur’an merupakan sumber utama yang dijadikan oleh para mujtahid dalam menentukan hukum ajaran Islam. Karena, segala permasalahan hukum agama merujuk kepada Al-Qur’an tersebut atau kepada jiwa kandungannya. Apabila penegasan hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an masih bersifat global, maka hadist dijadikan sumber hukum kedua, yang mana berfungsi menjelaskan apa yang dikehendaki Al-Qur’an. Sumber hukum yang lain adalah Ijmak dan Qiyas.
Ijmak dan Qiyas merupakan sumber pelengkap, yang mana wajib diikuti selama tidak bertentangan dengan nash syari’at yang jelas.
DAFTAR PUSTAKA
· Rifai, Moh. Fiqih, CV. Wicaksana, Semarang, 2003
· Hasan, M. Ali, Perbandingan Mazdhab, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003
· Bakry, Nazar, Fiqih dan Ushul Fiqih, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1994.
· Syafi’i, Rachmat, Ilmu Ushul Fiqih, Pustaka Setia, Bandung, 1999.
No comments:
Post a Comment