Breaking

Monday, March 31, 2014

Dampak Negatif Media

Gencarnya media melakukan propaganda kepada masyarakat melalui penawaran-penawaran produk dan tampilan model gaya hidup tertentu telah berhasil menciptakan sebuah pola hidup yang konsumtif bagi masyarakat. Masyarakat kita mengalami manipulasi kebutuhan yang pada tingkat tertentu sudah melampaui batas kewajaran. Diakui atau tidak, di era modern ini terbangunnya sistem pemikiran yang matrialistis. Orang-orang bekerja dan saling berinteraksi sesamanya atas dasar laba sehingga nilai-nilai kesetiakawanan menjadi terabaikan.
Sebuah contoh ironis dijumpai di negara Jepang. Kehidupan yang timpang telah mengabaikan nilai-nilai agamaisme dan memberi tekanan psikologis yang berat dan sangat berarti kepada warganya. Kesejahteraan ekonomi yang cukup baik ternyata berbanding terbalik dengan angka bunuh diri di negara itu. Banyak yang lebih memilih mengakhiri hidupnya karena merasa putus asa dalam menghadapi gejolak hidup, bahkan negara tersebut menyediakan fasilitas bunuh diri yang legal. Rakyatnya bisa memilih bunuh diri dengan cara yang dia suka. Inilah contoh masyarakat dengan hati kering dan jiwa yang sakit.

Negara-negara maju menjadi pusat perhatian masyarakat kita dewasa ini dengan dalih meningkatkan taraf kesejahteraan hidup yang berkelas, apa pun yang dicari telah mengabaikan nasib pihak lain dan mengabaikan nilai dan norma-norma yang berlaku di masyarakat. Meskipun gejala ini tidak bisa dikatakan berlaku secara menyeluruh, tetapi watak seperti ini tampaknya bisa dikatakan mulai terbentuk sebagai watak komunal masyarakat modern. Orang mulai lupa, bahwa manusia itu mempunyai fitrah-fitrah alami dan kebutuhan spiritual yang tidak boleh terlupakan. Sementara sistem sosial yang tidak memberi tempat bagi pemenuhan kebutuhan batin, sebenarnya hanya akan membentuk masyarakat yang tidak sehat secara fisik dan hidup dengan tekanan mental yang berat.

Datangnya hari raya kurban seharusnya bisa menjadi cermin bagi masyarkat bahwa ada susuatu yang lain yang juga berharga selain materi. Momentum kurban yang merupakan bukti pengabadian total yang dilakoni Nabi Ibrahim as bersama putranya, Ismail as dengan sang Khalik. Bagaimana seorang hamba yang siap mengorbankan segala yang dimiliki hanya untuk Tuhan semesta alam yang dia cintai, karena baginya satu-stunya yang berharga adalah Tuhan, dan segala sesuatu selain-Nya seperti tidak lagi mempunyai nilai yang berarti di hatinya bahkan tidak penting. Kurban menegaskan pilihan Nabi Ibrahim kepada sesuatu yang abadi, di atas yang fana. Baginya, lebih penting menuruti kehendak Tuhan, dan anak tidak lagi menjadi penting ketika berhadapan dengan perintah Tuhan. Inilah contoh keagungan cinta kepada zat Yang Maha Agung yang pantas ditiru generasi yang gersang zaman ini. Tradisi kurban sebagai simbol persembahan dan pengabdian yang tinggi kepada Allah.

Di dalam Islam, tradisi kurban kemudian diletakkan sebagai bagian ibadah yang terikat oleh sejumlah aturan agar kurban dinilai sah menurut syara’. Akan tetapi, makna yang hakiki dari kurban itu tetap bisa dilihat di dalam aturan-aturannya. Jika kurban pada kali pertamanya dipakai sebagai pembuktian cinta seorang hamba kepada Tuhan-nya, maka di dalam Islam, kurban juga suatu cara orang berbagi dan saling menyayangi dengan sesamanya. Ini dapat dilihat dari keharusan memberikan sebagian dari daging kurban kepada orang-orang sekitar, dan diutamakan kaum fakir miskin. Bahkan dianjurkan orang yang berkurban mengambil sedikit saja dari daging kurban. Di dalam fiqih bahkan sunnah bagi yang berkurban mengambil hanya hati hewan kurban, sementara yang lain dibagikan sebagai bentuk kepedulian dan kesetiakawanan sosial.

Nabi Muhammad saw bersabda: “Empat jenis hewan yang tidak boleh dipakai untuk kurban; hewan yang cacat matanya, dan cacatnya itu tampak terlihat, hewan yang berpenyakit yang jelas penyakitnya, hewan yang pincang jalannya yang tampak terlihat, dan hewan yang otaknya mengalami gangguan.

Empat cacat itu menjadikan hewan tidak bisa dipakai untuk hewan kurban. Cacat-cacat ini mereduksi tujuan kurban sebagai media untuk berbagi, karena hewan menjadi lebih kurus dan dagingnya berkurang. Cacat-cacat lain yang berpengaruh pada kuantitas daging disamakan hukumnya. Sedangkan prosesi penyembelihan kurban, waktunya dimulai dari terbitnya matahari pada hari kesepuluh Zulhijjah sampai waktu matahari terbenam pada sore hari ketiga belas bulan ini.

Kurban mengajarkan untuk berbagi kesenangan dengan sesama. Karena itu, membagikan sebagian daging kurban adalah sebuah keharusan. Lebih utamanya, jika orang yang berkurban tidak mengambil lebih dari organ hati hewan kurban saja, meskipun mengambil lebih dari itu sampai batas 1/3 daging masih dalam batas sunnah. Adapun jika kurban itu dinazarkan, maka orang yang berkurban dan anggota keluarga yang wajib dia nafkahi tidak diperbolehkan mengambil sedikit pun dari daging tadi, dan semuanya harus dibagikan.

Semua itu menjelaskan bahwa Hari Raya Kurban adalah saat di mana Allah menjamu hamba-hamba-Nya. Kurban, dengan bercermin dari sejarah perjalanan hidup Nabi Ibrahim as telah mengajarkan kepada manusia, bahwa hanya Allah swt di dalam hati dan raja yang menguasai kehendak-kehendak ego-nafsunya. Pada tahap ini, seorang hamba tidak lagi melihat nilai dari materi. Dia hanya melihat bahwa satu-satunya yang harus disembah adalah Allah, bukan materi.

Pada saat manusia terlena dengan hiruk pikuk kehidupan, tanpa disadari seakan-akan yang mereka sembah secara faktual bukan Tuhan-nya, melainkan materi dan harta benda. Bagaimana tidak, sebagian besar waktu yang dimiliki dipakai untuk mengejar apa yang menurutnya akan memberinya kenikmatan hidup, yaitu materi. Strategi disusun, sumber daya disiapkan, pengawasan dan evaluasi dilakukan dengan cara berkesinambungan untuk memastikan bahwa semuanya berjalan seperti yang direncanakan, dan kemudian menunggu hasil akhirnya, seperti penjudi yang selalu berdebar jantungnya menunggu tutup biji dadu dibuka. Hidup bagi orang-orang seperti ini hanya mempunyai dua arti, menang atau kalah. Itulah sesembahan mereka pada kenyataannya.

Orang sebenarnya tidak bisa berharap keabadian di dalam materi. Sudah menjadi watak materi, bahwa dia akan selalu mengalami perubahan, muncul dan hilang, materi apa pun wjudnya pada akhirnya akan berhenti di ujung batasnya, berupa kerusakan. Wujudnya tidak kekal, lebih dari itu, pada hakikatnya materi tidak memiliki wujud yang hakiki. Wujudnya hanya turunan dari wujud Allah. Sehingga menggantungkan hidup pada materi sama seperti berharap selamat dari derasnya aliran sungai dengan berpegang pada segenggam rumput yang mudah tercerabut. Kurban mengajarkan, bahwa ada yang lebih pantas untuk dicintai selain materi, Dialah Allah yang menguasai semua yang wujud.

Penulis adalah pengajar pada  Pondok Pesantren Bustanul Arifin Kecamatan  Bukit, Kabupaten Bener Meriah

No comments:

Post a Comment